Rabu, 28 Desember 2011

UPACARA ADAT "DANGAI" SUKU DAYAK BAHAU BUSANG

[Sumber dari berbagai kutipan]

Pedalaman Kalimantan yang dibelah beberapa aliran sungai besar menyimpan berbagai kisah peradaban anak manusia. Dalam kelembaban hutan lebat di tepi-tepi sungai, hidup kelompok masyarakat adat yang menyebut dirinya Suku Dayak. Tubuh mereka biasanya bertato dan memakai anting hingga membuat panjang daun telinga. Masyarakat Dayak telah menjaga hidupnya dari ancaman kehancuran alam dengan berbagai kearifan sejak ratusan tahun silam.

Salah satunya menganggap semua benda di alam memiliki roh dan perasaan seperti manusia. Karena itu, mereka tidak menganggap lebih tinggi dari pada alam. Manusia serta alam saling menjaga dan menyelamatkan. Aliran sungai yang menjadi jantung kehidupan dan jalur untuk berhubungan dengan masyarakat luar dijaga dan dibiarkan tetap apa adanya. Contohnya, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sejak ratusan silam, aliran air dan hutan di tepiannya tak pernah berubah. Padahal lebih dari satu masyarakat adat menggunakan jalur sungai ini.

Masyarakat asli Pulau Borneo ini seakan sangat hafal setiap denyut Sungai Mahakam. Hal itu tampak saat bertemu jeram atau riam. Mereka sudah tahu cara menghindarkan diri dari bahaya arus Sungai Mahakam. Salah satu Suku Dayak yang mendiami hulu Sungai Mahakam di kawasan Long Pahangai, Kutai Barat adalah Bahau Busang. Suku Bahau Busang sempat menjalani hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan. Mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam dan berburu hewan. Pola hidup ini mulai ditinggalkan Suku Dayak Bahau Busang sejak abad ke-19.

Mereka memilih menetap di Kampung Long Pahangai. Perubahan pola hidup ini tidak serta merta menghilangkan adat kebiasaan suku ini. Berburu babi dan ikan masih dijalani. Menjalankan kegiatan ini berarti juga harus melaksanakan semua ritual dan norma yang melekat sebelumnya. Saat kaum pria telah menemukan lokasi perburuan, yang pertama dilakukan ialah memohon izin kepada roh leluhur. Mereka memohon agar terbebas dari petaka saat berburu. Mereka melarang menggunakan bom atau racun ikan.

Hanya senjata rakitan dengan anak panah yang diperbolehkan sebagai alat berburu. Tak hanya ikan tembilang yang didapat kaum pria saat berburu. Hiu Mahakam sering menjadi sasaran mata anak panah para pemburu Suku Dayak Bahau Busang. Kesibukan sehari-hari untuk mencari makan tidak membuat Suku Dayak Bahau Busang lupa bersyukur kepada Sang Pencipta.

Mereka beranggapan "Amay Tingai" yang menjadi Tuhan mereka akan menjauhkannya dari berbagai musibah. Salah satu upacara sebagai wujud syukur Bahau Busang adalah ritual "Dangai". Selain ungkapan rasa syukur, upacara ini untuk meneguhkan mereka dalam menjalani kehidupan.

"Upacara Adat Dangai/Dange" ini merupakan warisan leluhur kami sebagai perwujudan interaksi manusia dengan pencipta dan alam semesta, melalui upacara Adat Dangai manusia akan lebih memahami pentingnya keselarasan kehidupan antara manusia, alam dan pencipta. Upacara adat Dangai mengandung nilai dan kekuatan tinggi baik dari 'Ame Tinge' (Tuhan) maupun roh-roh leluhur," katanya. Dalam bahasa Dayak Bahau , Dangaiberasal dari kata 'ange' (undangan) dan 'mange' (mengundang). Jadi "Dange" adalah pelaksanaan upacara adat Bahau Busaang yang mengundang banyak orang (mange), baik masyaraat di suatu kampung maupun dari luar kampung.

Upacara Dangai selalu diiringi tetabuhan musik tradisional. Bersamaan dengan suara gendang bertalu-talu, sejumlah wanita dengan pakaian adat keluar satu per satu dari sebuah rumah. Ini merupakan awal ditandainya ritual Dangai. Mereka berjalan beriringan mengikuti irama musik untuk menggelar ritual tanah, prosesi awal Dangai. Sedikit tanah sebagai simbol media yang telah memberi kesuburan dan kemakmuran, pohon berikut akarnya, dan potongan kecil papan lantai dikumpulkan. Bahan-bahan yang diambil dari suatu tempat yang dianggap suci itu lalu ditaruh di lamin besar. Selanjutnya para wanita itu mengitarinya 16 kali yang merupakan simbol kebersatuan alam.

Prosesi selanjutnya adalah ritual di bawah atap janur. Ritual ini ditandai dengan pemanjatan doa dan mantera oleh para “dayung” atau pemuka agama yang semuanya perempuan untuk meminta izin pada roh leluhur agar Dangai berjalan lancar. Dua prosesi ini disebut dengan "ngetalun". Pada upacara ini dominasi wanita begitu kental. Namun bukan berarti kaum pria tak berperan.

Peran kaum adam Suku Dayak Bahau Busang mulai tampak saat mendirikan pondok lamin, bangunan kecil di depan lamin besar. Mereka bekerja sama membuat bangunan yang akan digunakan sebagai sentral ritual Dangai. Setelah pondok lamin selesai dibangun, upacara tegerang lepau mulai digelar. Inti upacara Dangai ini dimulai dengan dipanjatkannya kembali mantera ke leluhur oleh pemuka adat. Selanjutnya warga menghadap dayung. Para ibu juga membawa anaknya kepada dayung yang tidak lain agar tunas-tunas Suku Dayak Bahau Busang dapat mengarungi hidup kelak.

Secara sosial, nilai positif yang terkandung pada Upacara Dangai itu yakni, membina rasa kekeluargaan, kebersamaan serta rasa memiliki budaya dan adat istiadat sebagai warisan. Setiap prosesi Dangai, dipimpin oleh seorang "Dayung". Namun, saat ini sangat sulit menemukan generasi muda yang ingin mendalami dan menekuni pesta adat seperti ini, sehingga banyak prosesi yang berubah dari bentuk awalnya. Pesta Adat Dangai yang digelar suku Dayak Bahau asal Busaang, Kutai Barat tersebut sebagai ritual budaya untuk meminta perlindungan dari para roh-roh kebaikan agar alam dan lingkungan mereka tetap terjaga dari berbagai bentuk musibah.

Tahapan upacara Adat Dangai yang berlangsung hingga 10 hari itu diawali dengan 'Ngiaan Mawaang Alaan' (membuka jalan Dayang dari bumi ke khayangan) untuk memohon kepada Tuhan agar pelaksanaan Upacara Adat Dangai berjalan tanpa hambatan. Selanjutnya, dilakukan prosesi 'Alaa Kayo Akaat Tasuu Tekul' dan 'Tanaa Juaan' (mengambil kayu bahan pondok lantai adat tanah suci). Prosesi ini dilakukan dengan mengambil tanah asli dari khayangan serta asal-usul induk kayu khayangan sebagai syarat agar rakyat di bumi dapat melaksanakan upacara Adat Dangai.

Semua prosesi itu sebagai langkah awal untuk 'Tagerang Lepo Dange' (mendirikan pondok Dangai). Semua ritual dilakukan di Lepo Dange. Ritual 'Nyelung Tanaa' (memberkati tanah) menjadi ritual penyeimbang antara alam dan manusia sehingga memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi makhluk hidup di alam ini. Inti dari semua kegiatan ini melalui 'Maraa Uting Helung' atau persembahan hewan kurban yang dipersembahkan kepada 'Tipang Tenangan' atau "Ame Tinge' (Tuhan) agar tujuan upacara adat dan doa-doa dapat terkabulkan.

Selain berinteraksi dengan alam dan pencipta, upacara adat Dange itu menjadi sebuah prosesi menguatkan jiwa dan raga seorang anak dalam menjalani kehidupan yang dikenal sebagai Dange Anak, mengantar pasangan suami-istri dalam mengarungi rumah tangga (Dange Hawa), serta 'Dangai Metun Kadaan Maran' sebagai pemakaian pakaian adat yang nilainya lebih tinggi dari yang dipakai sebelumnya. Seorang yang terlahir sebagai suku Dayak belum diperkenankan memakai pakaian dan berbagai aksesoris asli sebelum ikut upacara Dangai. Jadi, prosesi Dangai ini harus dilalui oleh kami sebagai bentuk pengukuhan diri dan menunjukkan status sosial seseorang. Selain akan terus ditimpa kesialan, bagi yang tidak melaksanakan upacara Adat Dangai semasa hidupnya juga akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Jadi upacara Adat Dangai merupakan kewajiban bagi setiap orang Dayak, khususnya dari suku Dayak Bahau.

NYARIS PUNAH

Berbagai prosesi pada upacara Adat Dangai bagi warga Dayak Bahau, Kutai Barat telah mengalami masa kriris akibat dianggap ritual "animisme". Pada 1970, upacara adat ini sempat dilarang, namun pada 1990-an mulai kembali menghidupkannya sebagai prosesi budaya, sebagai bentuk pengokohan diri melalui prosesi adat," kata Blawing Blareq, Kepala Adat Besar Suku Dayak Bahau Busaang, Kutai Barat.

Seiring dengan berjalannya waktu, upacara Adat Dangai juga mengalami berbagai pergeseran. Namun, pesan yang terkandung di dalam setiap prosesi itu tetap bertahan, walaupun pada beberapa tahapan proses terjadi perubahan, katanya. Kecenderungan minimnya generasi muda yang tertarik pada adat juga menjadi hambatan, sebab sangat sedikit orang Dayak saat ini yang memahami dan bisa mengingat berbagai aktivitas adat," kata Blawing Blareq. Upacara Adat Dangai itu merupakan salah satu "warisan budaya yang harus dilestarikan", terkhusus bagi warga suku Dayak Bahau Busang yang ada di Kecamatan Long Pahangai, Kutai Barat-Kalimantan Timur, Upacara Adat Dangai sudah menjadi event Seni dan Budaya yang rutin dilaksanakan setiap empat tahun sekali. Kami berharap, upacara Adat Dangai ini menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia dan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pariwisata.

Selasa, 27 Desember 2011

TRADISI DAN KEPERCAYAAN PADA UPACARA HUDOQ


[Hudoq Milik Bpk. Antonius Huvat Abeh - Long Pahangai -Koleksi Foto Pribadi]
[Sumber Kutipan : www.tingangmadang.com]


Perayaan – perayaan di suku Dayak, khususnya Dayak Bahau, Modang umumnya, berkenaan dengan pera

yaan yang terkait dengan:

  1. Upacara Ngayau,
  2. Upacara yang terkait dengan perayaan peristiwa keluarga seperti pada kelahiran anak, pemberian nama anak, kematian ataupun perkawinan
  3. Upacara terkait dengan pekerjaan – pekerjaan pertanian seperti pada peristiwa pembukaan lahan, musim tanam dan musim panen, pesta – pesta ini merupakan pesta besar.
  4. Upacara – upacara yang terkait dengan peristiwa dalam mimpi.

Pesta – pesta ini sering didahului dengan panggilan menggunakan Gong dengan irama – irama tertentu, kadang – kadang disertai doa, dan kisah – kisah tertentu yang dapat berlangsung semalam suntuk. Sebagian besar upacara – upacara ini dipimpin oleh seorang Dayung , pemimpin doa.

Khusus dilingkungan masyarakat Dayak Bahau, Modang, upacara yang berkenaan dengan kegiatan yang terkait dengan menanam padi merupakan salah satu upacara yang besar dari suku Bahau / Modang.

Pada kesempatan ini akan diuraikan perayaan yang mendahului musim tanam yaitu upacara dan tarian Hudoq. Sebelum perayaan Hudoq ini dilakukan, sekitar kira-kira dua bulan sebelum upacara Hudoq ( Juli - Agustus) ini, dilakukan upacara yang dimaksudkan untuk mempersiapkan tanah sehingga siap untuk ditanami. Sebelum pekerjaan ini dilakukan dilakukan upacara dengan persembahan kepada Roh – roh yang mendiami rongga – rongga bumi, yang memiliki kekuasaan untuk membuat tanah menjadi subur. Pada upacara ini semua batu asah (Ha’ aan), serta alat – alat untuk bercocok tanam dikumpulkan dalam sebuah wadah dan disertakan dalam doa persembahan ini..

Persembahan ini diibaratkan oleh batu asah yang mampu mempertajam alat – alat pertanian sehingga mampu mensukseskan upaya mereka dalam mengolah tanah. Upacara ini dikenal dengan upacara “Ha’ aan”.

Upacara Hudoq diselenggarakan pada bulan September – Oktober

Pada hari pertama,

Hipui di kampung itu bersama keluarga serta penghuni kampung lainnya melakukan upacara yang disebut Napok yang menggunakan “Belakaaq” yang digantung pada batang bambu untuk dipersembahkan kepada Roh – Roh. Semua penduduk kampung pada upacara ini diberi kesempatan untuk memegang “Belakaaq tersebut, sebagai tanda bahwa mereka hadir pada acara persembahan tersebut. Acara ini juga dikenal sebagai ritual Napoq. Napoq adalah prosesi sakral yang wajib dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan Hudoq. Ritual ini dipimpin oleh seorang Dayung yakni orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk berkomunikasi langsung dengan para Hudoq.

Dengan didampingi dua asistennya, Dayung berkeliling kampung sambil membunyikan mebang atau gong kecil. Yang berfungsi sebagai alat komunikasi penyapaan kepada para roh-roh penjaga desa, bahwa Napoq sedang dilakukan. Selanjutnya, Dayung akan memanggil dan meminta kepada penguasa alam semesta yang memiliki empat sapaan yakni Tasao, Tuhan Pencipta; Tanyie', Tuhan Penjaga; Tawe'a, Tuhan Penuntun dan Tagean, Tuhan Yang Berkuasa; agar penyelenggaraan hudoq dapat berjalan aman dan lancar.

Roh – roh tersebut dapat mengenali mereka yang ikut pada upacara persembahan ini karena mereka yang memegang belakaaq akan meninggalkan bau yang khas hingga dikenali oleh Roh – roh tersebut.

Pada hari kedua

perayaan upacara tanam padi ini yang secara keseluruhan berlangsung 8 hari ini, dilakukan datanglah Haruk (perahu – perahu) yang dikayuh oleh anak-anak muda ini ditumpangi oleh penari Hudoq dan disambut penduduk kampung dengan meriah. Hudoq bukanlah suatu upacara keagamaan tetapi merupakan suatu upacara adat dari suku Bahau atau Modang.

“Hudoq – hudoq” ini merupakan dewa- dewa yang mendiami “Apau lagaan” Mereka meyakini di saat musim tanam tiba roh-roh nenek moyang akan selalu berada di sekeliling mereka untuk membimbing dan mengawasi anak cucunya. Leluhur mereka ini berasal dari Asung Luhung atau Ibu Besar yang diturunkan dari langit di kawasan hulu Sungai Mahakam Apo Kayan. Asung Luhung memiliki kemampuan setingkat dewa yang bisa memanggil roh baik maupun roh jahat. Oleh Asung Luhung minta kepada. Silau Apau Lagaan yang bergelar Buang Atut Uhut Mebaang yang berdiam di Apau Lagaan merupakan penguasa tertinggi atas macam-macam Hudoq untuk ditugaskan menemui untuk menemui manusia.

Namun karena wujudnya yang menyeramkan serta karena apabila manusia melihat dewa-dewa ini ini akan terkena Parit. Maka mereka diperintahkan oleh Jeliwan Tok Hudoq untuk mengenakan baju samaran manusia setengah burung. Para Hudoq itu datang membawa berkat serta kabar kebaikan.

Para wanita yang ikut dalam tari Hudoq ini sudah jarang ditemuai pada saat ini (1903), mereka menggunakan topeng yang terbuat dari anyaman rotandan diberi kapas yang dijahit dengan rotan sehingga menyerupai wajah manusia dan pada kiri kanannya diberi gantungan hisang seperti terlihat pada gambar diatas.

Mereka menggunakan kain yang longgar bahkan sarung yang digunakan para lelaki.

Upacara tarian Hudoq diselenggarakan di “Amin Ayaq” pada hari kedua setelah makan malam. Mereka yang menari yang diiringi oleh suara Gong dan “Tuvung” diawali dengan irama perlahan dan makin lama makin cepat iramanya. Ada kepercayaan bahwa Toq (roh/dewa) yang ikut dalam tarian ini memiliki kemampuan untuk membawa kembali orang yang telah meninggal, sehingga ada kepercayaan yang memungkinkan mereka dapat mengambil Roh Padi.

Mereka bahkan dapat berbicara dengan dewa- dewa (Tengarang Hudoq) sehingga mampu mengundang Roh padi. Hudoq melakukan gerakan kaki Nyidok atau Nyebit yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki. Disusul dengan gerakan kaki Ngedok atau Nyigung yaitu menghentakkan kaki dengan tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-ngibas layaknya gerakan sayap seekor burung yang sedang terbang. Gerakan ini bermakna untuk mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi.

Secara umum, arah gerakan tarian ini yang dilakukan dengan memutar tubuh ke kiri yang berarti membuang sial dan memutar tubuh ke kanan untuk mengambil memungut kebaikan. Oleh karena itu tarian ini dilakukan di Amin Ayaq dan tidak dilapangan.

Namun sekarang dengan jumlah penari yang demikian besar hal ini tidak dimungkinkan sehingga bunyi karena Nyebit dan nyigung ini tidak bisa dinikmati lagi. Bahkan gerakan kaki yang makin perlahan pada saat belok kekanan atau kekiri tidak bisa dinikmati lagi.

Setelah agak larut malam, seekor “Bavui” dilepas (Manusia dengan Hudoq Bavui) masuk kedalam arena, menggunakan pakaian gelap seperti Babi dan mengeluarkan suara seperti Babi yang sedang dikejar oleh para pemburu.

Beberapa anak muda menggunakan Hudoq Aso’ dan mengejar Bavui sampai kembali kedalam hutan ( “meninggalkan penonton”). Setelah hama yang dapat menyebabkan manusia ini dapat diusir, maka kini adalah waktu yang tepat untuk mengundng “Roh Padi”

Baru setelah ini dilaksanakan dilaksanakan “Tengarang Hudoq” untuk memanggil Roh Padi, dewa Hunyang Tenangan, dewa yang memelihara tanaman padi. ritual ugaaitan atau menarik brua pareh (=nyawa padi). Dalam ritual ini, para Hudoq berbaris sejajar, yang urutannya disesuaikan dengan kelas sosial para dewa. Para dewa dengan kelas sosial tertinggi berada di barisan terdepan. Sambil membaca mantera, para Hudoq menarik nyawa padi sebanyak tujuh kali.

Pada hari – hari berikutnya setelah upacara Hudoq, maka waktu 8 hari ini tidak ada upacara lagi tetapi ada banyak larangan – larangan harus diikuti.

Pada hari kedelapan

sebelum upacara tanam padi diawali, nasi dimasak dalam bambu yang baru dipotong dan dimasak bersama “Sawi Ladang” (=Hmull) yang dilakukan ibu-ibu ditanah diseberang ladang mereka dan setelah lewat tengah hari yaitu setelah persiapan pembuatan “ nasi dalam bambu dengan Hmull” siap, maka mereka akan kembali ke tanah ladang mereka dengan haruk (perahu) mereka.

Begitu tiba didarat mereka memerciki tanah dengan air yang digunakan untuk memasak nasi dalam bambu tadi.

Apabila sudah selesai mereka memecahkan batang bambu berisi nasi dari beras hasil panen lalu yang terbaik tadi dan meletakannya dalam persembahan Napo/ belakaaq yang dilakukan pada awal upacara Bu hudoq ini.

Kemudian mereka akan kembali ke “Amin ayaq” dan mengajak semua orang untuk menikmati beras hasil panen tadi. Mereka menyelenggarakan pesta besar yang meriah sekali dimana semua orang makan sepuas-puasnya. Bukan hanya manusia yang makan akan tetapi semua ternak peliharaan juga ikut makan.

Meskipun panen lalu tidak banyak menghasilkan ataupun panen lalu banyak menghasilkan, pesta ini tidak dipengaruhi, pesta ini tidak tergantung dari hasil panen yang baru lewat. Pesta ini dilakukan tanpa ada upaya untuk mengurangi jatah orang atau hewan karena khawatir kalau akan mengganggu roh – roh yang bertanggung jawab untuk memberikan hasil berlimpah pada panen yang akan datang.


Keesokan harinya upacara penanaman awal dilakukan oleh Hipui atau Raja kampung itu dan diikuti oleh pejabat2 lain setelah itu masyarakat biasa secara bergilir selang sehari.

Jalan menuju ladang yang diberi tanda yaitu bahwa sedang ada penanaman padi

Tanda ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa sedang ada kegiatan menanam padi. Pada acara tanam padi ini orang tidak boleh bicara satu dengan yang lain dan tidak boleh berhubungan atau berbicara dengan orang asing yang mereka tidak kenal.

Apabila ada kejadian bahwa larangan itu dilanggar, maka acara tanam padi dihentikan untuk hari itu. Pada saat itu penduduk juga tidak diperkenankan pergi keluar kampung pada malam hari. Mereka tidak boleh berburu, mengambil buah atau menangkap ikan dengan jala sampai masa tanam padi selesai.

Dengan pemahaman dan kepercayaan ini masyarakat Bahau serta Modang melaksanakan salah satu upacara besar di Desa-kampung tempat tinggal mereka. Meskipun sudah mengalami perubahan karena situasi dan kondisi yang telah berubah ini, kiranya ada baiknya kita sekali – kali menampilkan upacara ini seperti apa yang dilakukan oleh Kakek, Nenek dan saudara- saudara yang kini sudah tiada sebagai peringatan dan penghormatan kepada arwah – arwah mereka.

Rabu, 14 Desember 2011

"TELINGA PANJANG", BUDAYA DAYAK YANG MULAI PUNAH


[Sumber Kutipan : www.ceritadayak.com]
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa.

Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an.

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan suku Dayak mulai melakukan tradisi ini, semua menyatakan mengikuti tadisi yang diyakini juga seabgai tatanan kehidupan sosial suku Dayak. Secara tatanan sosial dan tradisi budaya Dayak, telinga panjang ini merupakan identitas yang tidak bisa di pesahkan dengan kehidupan sosial.

PERTANDA WANITA BANGSAWAN


Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. Ini menandakan bahwa yang yang bersangkutan adalah keturunan bangsawan Dayak.

Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu. Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali.

Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Selain sebagai status sosial dalam kehidupan masyarakat, telinga panjang juga di nilai dari segi kecantikannya. Semakin panjang telinga seorang wanita Dayak, maka pemilik telinga semakin cantik.


MULAI PUNAH
Seiring perkembangan jaman dan medernisasi yang perlahan tapi tapi mulai masuk dan menggeser tradisi turun temurun ini. Telinga panjang mulai punahn, menurut informasi yang kami dapatkan adalah ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Tapi tidak ada yang tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

Senin, 05 Desember 2011

SUKU "DAYAK"

Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah kumpulan/federasi dari berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai pendatang awal yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan,rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.

Etimologi

Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Baritotempo dulu.

Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata dayadari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.

Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya, sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.

Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, danDayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

Asal mula

Secara umum seluruh penduduk di kepulauan Nusantara disebut-sebut berasal dari Cina selatan, demikian juga halnya dengan Suku Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa Cina dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok-kelompok kecil) diperkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari Asia terjadi pada fase pertama zaman Tertier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian Nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I danSultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi di masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.

Pembagian sub-sub etnis

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.

Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

Dayak pada masa kini

Tradisi suku Dayak Kanayatn.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan danPunan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.

Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :

Tradisi Penguburan

Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaqdi Kutai. Peti yang dimaksud adalahSelokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  • penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  • penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :

  1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
  2. wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.

berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :

  1. lubekng (tempat lungun)
  2. garai (tempat lungun, selokng)
  3. gur (lungun)
  4. tempelaaq dan kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

  1. penguburan tahap pertama (primer)
  2. penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer

  1. Parepm Api (Dayak Benuaq)
  2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. Marabia
  4. Mambatur (Dayak Maanyan)
  5. Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

Agama

Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagaai agama Kaharingan. Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam, namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak, tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak. Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena di masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Palembang maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa di masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya di masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.

Konflik

Keterlibatan

Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen. Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.