Selasa, 27 Desember 2011

TRADISI DAN KEPERCAYAAN PADA UPACARA HUDOQ


[Hudoq Milik Bpk. Antonius Huvat Abeh - Long Pahangai -Koleksi Foto Pribadi]
[Sumber Kutipan : www.tingangmadang.com]


Perayaan – perayaan di suku Dayak, khususnya Dayak Bahau, Modang umumnya, berkenaan dengan pera

yaan yang terkait dengan:

  1. Upacara Ngayau,
  2. Upacara yang terkait dengan perayaan peristiwa keluarga seperti pada kelahiran anak, pemberian nama anak, kematian ataupun perkawinan
  3. Upacara terkait dengan pekerjaan – pekerjaan pertanian seperti pada peristiwa pembukaan lahan, musim tanam dan musim panen, pesta – pesta ini merupakan pesta besar.
  4. Upacara – upacara yang terkait dengan peristiwa dalam mimpi.

Pesta – pesta ini sering didahului dengan panggilan menggunakan Gong dengan irama – irama tertentu, kadang – kadang disertai doa, dan kisah – kisah tertentu yang dapat berlangsung semalam suntuk. Sebagian besar upacara – upacara ini dipimpin oleh seorang Dayung , pemimpin doa.

Khusus dilingkungan masyarakat Dayak Bahau, Modang, upacara yang berkenaan dengan kegiatan yang terkait dengan menanam padi merupakan salah satu upacara yang besar dari suku Bahau / Modang.

Pada kesempatan ini akan diuraikan perayaan yang mendahului musim tanam yaitu upacara dan tarian Hudoq. Sebelum perayaan Hudoq ini dilakukan, sekitar kira-kira dua bulan sebelum upacara Hudoq ( Juli - Agustus) ini, dilakukan upacara yang dimaksudkan untuk mempersiapkan tanah sehingga siap untuk ditanami. Sebelum pekerjaan ini dilakukan dilakukan upacara dengan persembahan kepada Roh – roh yang mendiami rongga – rongga bumi, yang memiliki kekuasaan untuk membuat tanah menjadi subur. Pada upacara ini semua batu asah (Ha’ aan), serta alat – alat untuk bercocok tanam dikumpulkan dalam sebuah wadah dan disertakan dalam doa persembahan ini..

Persembahan ini diibaratkan oleh batu asah yang mampu mempertajam alat – alat pertanian sehingga mampu mensukseskan upaya mereka dalam mengolah tanah. Upacara ini dikenal dengan upacara “Ha’ aan”.

Upacara Hudoq diselenggarakan pada bulan September – Oktober

Pada hari pertama,

Hipui di kampung itu bersama keluarga serta penghuni kampung lainnya melakukan upacara yang disebut Napok yang menggunakan “Belakaaq” yang digantung pada batang bambu untuk dipersembahkan kepada Roh – Roh. Semua penduduk kampung pada upacara ini diberi kesempatan untuk memegang “Belakaaq tersebut, sebagai tanda bahwa mereka hadir pada acara persembahan tersebut. Acara ini juga dikenal sebagai ritual Napoq. Napoq adalah prosesi sakral yang wajib dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan Hudoq. Ritual ini dipimpin oleh seorang Dayung yakni orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk berkomunikasi langsung dengan para Hudoq.

Dengan didampingi dua asistennya, Dayung berkeliling kampung sambil membunyikan mebang atau gong kecil. Yang berfungsi sebagai alat komunikasi penyapaan kepada para roh-roh penjaga desa, bahwa Napoq sedang dilakukan. Selanjutnya, Dayung akan memanggil dan meminta kepada penguasa alam semesta yang memiliki empat sapaan yakni Tasao, Tuhan Pencipta; Tanyie', Tuhan Penjaga; Tawe'a, Tuhan Penuntun dan Tagean, Tuhan Yang Berkuasa; agar penyelenggaraan hudoq dapat berjalan aman dan lancar.

Roh – roh tersebut dapat mengenali mereka yang ikut pada upacara persembahan ini karena mereka yang memegang belakaaq akan meninggalkan bau yang khas hingga dikenali oleh Roh – roh tersebut.

Pada hari kedua

perayaan upacara tanam padi ini yang secara keseluruhan berlangsung 8 hari ini, dilakukan datanglah Haruk (perahu – perahu) yang dikayuh oleh anak-anak muda ini ditumpangi oleh penari Hudoq dan disambut penduduk kampung dengan meriah. Hudoq bukanlah suatu upacara keagamaan tetapi merupakan suatu upacara adat dari suku Bahau atau Modang.

“Hudoq – hudoq” ini merupakan dewa- dewa yang mendiami “Apau lagaan” Mereka meyakini di saat musim tanam tiba roh-roh nenek moyang akan selalu berada di sekeliling mereka untuk membimbing dan mengawasi anak cucunya. Leluhur mereka ini berasal dari Asung Luhung atau Ibu Besar yang diturunkan dari langit di kawasan hulu Sungai Mahakam Apo Kayan. Asung Luhung memiliki kemampuan setingkat dewa yang bisa memanggil roh baik maupun roh jahat. Oleh Asung Luhung minta kepada. Silau Apau Lagaan yang bergelar Buang Atut Uhut Mebaang yang berdiam di Apau Lagaan merupakan penguasa tertinggi atas macam-macam Hudoq untuk ditugaskan menemui untuk menemui manusia.

Namun karena wujudnya yang menyeramkan serta karena apabila manusia melihat dewa-dewa ini ini akan terkena Parit. Maka mereka diperintahkan oleh Jeliwan Tok Hudoq untuk mengenakan baju samaran manusia setengah burung. Para Hudoq itu datang membawa berkat serta kabar kebaikan.

Para wanita yang ikut dalam tari Hudoq ini sudah jarang ditemuai pada saat ini (1903), mereka menggunakan topeng yang terbuat dari anyaman rotandan diberi kapas yang dijahit dengan rotan sehingga menyerupai wajah manusia dan pada kiri kanannya diberi gantungan hisang seperti terlihat pada gambar diatas.

Mereka menggunakan kain yang longgar bahkan sarung yang digunakan para lelaki.

Upacara tarian Hudoq diselenggarakan di “Amin Ayaq” pada hari kedua setelah makan malam. Mereka yang menari yang diiringi oleh suara Gong dan “Tuvung” diawali dengan irama perlahan dan makin lama makin cepat iramanya. Ada kepercayaan bahwa Toq (roh/dewa) yang ikut dalam tarian ini memiliki kemampuan untuk membawa kembali orang yang telah meninggal, sehingga ada kepercayaan yang memungkinkan mereka dapat mengambil Roh Padi.

Mereka bahkan dapat berbicara dengan dewa- dewa (Tengarang Hudoq) sehingga mampu mengundang Roh padi. Hudoq melakukan gerakan kaki Nyidok atau Nyebit yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki. Disusul dengan gerakan kaki Ngedok atau Nyigung yaitu menghentakkan kaki dengan tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-ngibas layaknya gerakan sayap seekor burung yang sedang terbang. Gerakan ini bermakna untuk mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi.

Secara umum, arah gerakan tarian ini yang dilakukan dengan memutar tubuh ke kiri yang berarti membuang sial dan memutar tubuh ke kanan untuk mengambil memungut kebaikan. Oleh karena itu tarian ini dilakukan di Amin Ayaq dan tidak dilapangan.

Namun sekarang dengan jumlah penari yang demikian besar hal ini tidak dimungkinkan sehingga bunyi karena Nyebit dan nyigung ini tidak bisa dinikmati lagi. Bahkan gerakan kaki yang makin perlahan pada saat belok kekanan atau kekiri tidak bisa dinikmati lagi.

Setelah agak larut malam, seekor “Bavui” dilepas (Manusia dengan Hudoq Bavui) masuk kedalam arena, menggunakan pakaian gelap seperti Babi dan mengeluarkan suara seperti Babi yang sedang dikejar oleh para pemburu.

Beberapa anak muda menggunakan Hudoq Aso’ dan mengejar Bavui sampai kembali kedalam hutan ( “meninggalkan penonton”). Setelah hama yang dapat menyebabkan manusia ini dapat diusir, maka kini adalah waktu yang tepat untuk mengundng “Roh Padi”

Baru setelah ini dilaksanakan dilaksanakan “Tengarang Hudoq” untuk memanggil Roh Padi, dewa Hunyang Tenangan, dewa yang memelihara tanaman padi. ritual ugaaitan atau menarik brua pareh (=nyawa padi). Dalam ritual ini, para Hudoq berbaris sejajar, yang urutannya disesuaikan dengan kelas sosial para dewa. Para dewa dengan kelas sosial tertinggi berada di barisan terdepan. Sambil membaca mantera, para Hudoq menarik nyawa padi sebanyak tujuh kali.

Pada hari – hari berikutnya setelah upacara Hudoq, maka waktu 8 hari ini tidak ada upacara lagi tetapi ada banyak larangan – larangan harus diikuti.

Pada hari kedelapan

sebelum upacara tanam padi diawali, nasi dimasak dalam bambu yang baru dipotong dan dimasak bersama “Sawi Ladang” (=Hmull) yang dilakukan ibu-ibu ditanah diseberang ladang mereka dan setelah lewat tengah hari yaitu setelah persiapan pembuatan “ nasi dalam bambu dengan Hmull” siap, maka mereka akan kembali ke tanah ladang mereka dengan haruk (perahu) mereka.

Begitu tiba didarat mereka memerciki tanah dengan air yang digunakan untuk memasak nasi dalam bambu tadi.

Apabila sudah selesai mereka memecahkan batang bambu berisi nasi dari beras hasil panen lalu yang terbaik tadi dan meletakannya dalam persembahan Napo/ belakaaq yang dilakukan pada awal upacara Bu hudoq ini.

Kemudian mereka akan kembali ke “Amin ayaq” dan mengajak semua orang untuk menikmati beras hasil panen tadi. Mereka menyelenggarakan pesta besar yang meriah sekali dimana semua orang makan sepuas-puasnya. Bukan hanya manusia yang makan akan tetapi semua ternak peliharaan juga ikut makan.

Meskipun panen lalu tidak banyak menghasilkan ataupun panen lalu banyak menghasilkan, pesta ini tidak dipengaruhi, pesta ini tidak tergantung dari hasil panen yang baru lewat. Pesta ini dilakukan tanpa ada upaya untuk mengurangi jatah orang atau hewan karena khawatir kalau akan mengganggu roh – roh yang bertanggung jawab untuk memberikan hasil berlimpah pada panen yang akan datang.


Keesokan harinya upacara penanaman awal dilakukan oleh Hipui atau Raja kampung itu dan diikuti oleh pejabat2 lain setelah itu masyarakat biasa secara bergilir selang sehari.

Jalan menuju ladang yang diberi tanda yaitu bahwa sedang ada penanaman padi

Tanda ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa sedang ada kegiatan menanam padi. Pada acara tanam padi ini orang tidak boleh bicara satu dengan yang lain dan tidak boleh berhubungan atau berbicara dengan orang asing yang mereka tidak kenal.

Apabila ada kejadian bahwa larangan itu dilanggar, maka acara tanam padi dihentikan untuk hari itu. Pada saat itu penduduk juga tidak diperkenankan pergi keluar kampung pada malam hari. Mereka tidak boleh berburu, mengambil buah atau menangkap ikan dengan jala sampai masa tanam padi selesai.

Dengan pemahaman dan kepercayaan ini masyarakat Bahau serta Modang melaksanakan salah satu upacara besar di Desa-kampung tempat tinggal mereka. Meskipun sudah mengalami perubahan karena situasi dan kondisi yang telah berubah ini, kiranya ada baiknya kita sekali – kali menampilkan upacara ini seperti apa yang dilakukan oleh Kakek, Nenek dan saudara- saudara yang kini sudah tiada sebagai peringatan dan penghormatan kepada arwah – arwah mereka.

Tidak ada komentar: